Nama :
Shiva Widiaty
NIM :
2015-66-050
SESI :
02
Di Indonesia transisi epidemiologi
menyebabkan terjadinya pergeseran pola penyakit, di mana penyakit kronis
degeneratif sudah terjadi peningkatan. Penyakit degeneratif merupakan penyakit
tidak menular yang berlangsung kronis seperti penyakit jantung, hipertensi,
diabetes, kegemukan dan lainnya. Kontributor utama terjadinya penyakit kronis
adalah pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, minum alkohol,
pola makan dan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, stres, dan pencemaran
lingkungan.Sehingga Indonesia menanggung beban ganda penyakit dibidang
kesehatan, yaitu penyakit infeksi masih merajalela dan ditambah lagi dengan
penyakit-penyakit kronik degenerative.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
faktor-faktor yang berhubungan dengan pola kematian penyakit degeraratif di
Indoensia, khususnya mengkaji hubungan karakteristik dan akses yankes terhadap
kematian penyakit degeneratif ENMD (Endocrin, mentional and metabolic disease)
dan DCS (Desease of Circulatory System) pada usia ≥15 tahun melalui uji
analisis regresi. Data yang digunakan adalah data seluruh provinsi di Indonesia
pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa
tingkat ekonomi miskin dan menengah lebih berisiko terjadi kematian penyakit
degeneratif ENMD dan DCS dibandingkan tingkat ekonomi kaya. Sedangkan populasi
dengan kelompok umur 45–54 tahun lebih berisiko terjadi kematian penyakit
degeneratif DCS dibandingkan umur ≥33 tahun.
PERUBAHAN
POLA PENYAKIT DAN KEMATIAN DIABETES MELITUS
Gaya
hidup modern dengan banyak pilihan menu makanan dan cara hidup yang kurang
sehat yang semakin menyebar keseluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan
terjadinya peningkatan jumlah penyakit degenerative. Diabetes Melitus (yang
selanjutnya disingkat DM) merupakan salah satu penyakit degenerative
(Krisnatuti, 2008).
Penyakit
Diabetes Melitus merupakan penyakit degeneratif yang sangat terkait dengan pola
makan. Pola makan merupakan gambaran mengenai macam-macam, jumlah dan komposisi
bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh seseorang. Gaya hidup di perkotaan dengan
pola diet yang tinggi lemak, garam, dan gula, keseringan menghadiri
resepsi/pesta, mengakibatkan masyarakat cenderung mengkonsumsi makanan secara
berlebihan mengakibatkan berbagai penyakit termasuk DM. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
SEJARAH
PENYAKIT DIABETES MELITUS
Pada
1552 SM (Sebelum Masehi), di Mesir dikenal penyakit yang ditandai dengan sering
kencing dan dalam jumlah yang banyak (yang disebut dengan poliurial) serta
penurunan berat M badan yang cepat tanpa disertai rasa nyeri. Kemudian pada 400
SM, seorang penulis India yang bernama Sushratha menyebut penyakit tersebut
dengan “penyakit kencing madu” (honey urine disease).Nama penyakit tersebut
dikenal luas di kalangan niasyarakat dunia dan sangat populer di kalangan medis
pada masa itu. Seiring perjalanan waklu, pada 200 SM tersebutlah Aretaeus yang memberi
nama penyakit tersebut dengan “diabetes mellitus”. Diabetes berarti “mengalir terus” dan
Mellitus berarti “rnanis”. Penamaan tersebut berdasarkan ciri-ciri yang terjadi
pada penderitanya. Disebut Diabetes karena penderita minum terus- menerus dan
dalam jumlah yang banyak (atau polidipsia), yang kemudian “mengalir terus”
berupa air seni (urine); sedangkanpenyebutan Mellitus berdasarkan pada fakta
air seni penderita mengandung gula (manis).
Pada
dasarnya, DM terjadi karena tubuh Anda kekurangan hormon insulin atau hormon
insulin yang ada tidak mencukupi kebutuhan, atau tidak dapat bekerja normal.
Padahal hormon insulin mempunyai peranan utama untuk mengatur kadar glukosa (=
gula) di dalam darah menjadi sekitar 60-120 mg/ dL pada waktu puasa dan di
bawah 200 mg/dL pada dua jam sesudah makan.
Penyakit
DM tercantum dalam urutan nomor empat dari prioritas penelitian nasional untuk
penyakit degenerative setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler, dan
geriatrik (Krisnatuti,2008). Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah
Diabetes Melitus tipe 2 (Sudoyo, 2007). Berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM
tipe2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Indonesia berada diperingkat keempat jumlah penyandang DM di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Cina (Hans, 2008). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka prevalensi diabetes mellitus tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing 11,1 persen), diikuti Riau (10,4 persen) dan NAD (8,5persen). Prevalensi diabetes mellitus terendah ada di pro vinsi Papua (1,7 persen), diikuti NTT (1,8persen). Prevalensi Diabetes di Sulawesi Utara berdasarkan profil kesehatan provinsi SULUT tahun 2008 di dapatkan angka lebih tinggi di tingkat provinsi SULUT(1,6%) daripada angka nasional(1,0%). Penyakit ini tersebar di seluruh kabupaten dan kota di SulawesiUtara,dengan prevalensi tertinggi di kota Manado.
Indonesia berada diperingkat keempat jumlah penyandang DM di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Cina (Hans, 2008). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka prevalensi diabetes mellitus tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing 11,1 persen), diikuti Riau (10,4 persen) dan NAD (8,5persen). Prevalensi diabetes mellitus terendah ada di pro vinsi Papua (1,7 persen), diikuti NTT (1,8persen). Prevalensi Diabetes di Sulawesi Utara berdasarkan profil kesehatan provinsi SULUT tahun 2008 di dapatkan angka lebih tinggi di tingkat provinsi SULUT(1,6%) daripada angka nasional(1,0%). Penyakit ini tersebar di seluruh kabupaten dan kota di SulawesiUtara,dengan prevalensi tertinggi di kota Manado.
Grafk
diatas menunjukan bahwa penyakit Diabetes Melitus di Indonesia
mengalami peningkatan jumlah kematian pada tahun 1994, 1998, 2000, dan pada
tahun 2010.
PERUBAHAN
POLA PENYAKIT DAN KEMATIAN PADA PASIEN HIPERTENSI
Menurut
Depkes RI (2001) mengemukakan terjadinya transisi epidemiologi penyakit
ditunjukkan dengan adanya kecenderungan perubahan pola kesakitan dan pola
penyakit yaitu adanya penurunan prevalensi penyakit infeksi, namun terjadi peningkatan
prevalensi penyakit non-infeksi atau penyakit degeneratif seperti: hipertensi,
stroke, kanker, diabetes melitus dan lain-lain. Selain itu perubahan gaya hidup
(life style)masyarakat dan sosial ekonomi juga
dapat memicu
semakin meningkatnya prevalensi penyekit degeneratif, di mana juga masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat, salah satunya adalah hipertensi dan
sering kali dijumpai tanpa gejala, walau relatif mudah diobati namun apabila
tidak diobati akan menimbulkan komplikasi seperti Stroke, Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah (PJP), Gangguan Ginjal dan lain-lain yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan cacat maupun kematian (Bustan, MN, 1995).
Profil
Kesehatan Sumatera Utara (2001) melaporkan bahwa prevalensi hipertensi di
Sumatera Utara sebesar 91 per 100.000 penduduk, sebesar 8,21% pada kelompok
umur di atas 60 tahun untuk penderita rawat jalan.Berdasarkan penyakit penyebab
kematian pasien rawat inap di Rumah Sakit Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera
Utara, hipertensi menduduki peringkat pertama dengan proporsi kematian sebesar
27,02% (1.162 orang), pada kelompok umur ≥60 tahun sebesar 20,23% (1.349
orang).
Di
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan hipertensi termasuk ke dalam sepuluh
penyakit terbesar dari penderita yang dirawat inap di bangsal penyakit dalam.
Dari 400 penderita stroke yang dirawat di bangsal penyakit dalam pada tahun
1982-1985 38% menderita hipertensi (Sumartono dan Aryastamy, 1999).
Hasil
penelitian Hanim (2003) proporsi penderita hipertensi rawat inap di RSUP H.Adam
Malik Medan adalah 1,78%, proporsi laki-laki lebih besar daripada perempuan
yaitu sebesar 53,1%. Di wilayah kerja Puskesmas Pekan Labuhan, hipertensi
merupakan rangking ketiga dari 10 penyakit terbesar yang dilaporkan dengan
jumlah 1.776 pasien yang datang berobat selama tahun 2003. Jumlah kunjungan ke
Puskesmas dari semua penyakit adalah 15.255 pasien, dengan demikian proporsi
kunjungan penyakit hipertensi sebesar 11,64% (Puskesmas Pekan Labuhan, 2003).
Grafik
Penyebab kematian paling besar (WHO, 2005)
Indonesia:
59,5% Kematian Akibat Penyakit Tak Menular, Termasuk Jantung
Di
Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang ternyata masih berjuang
menghadapi pelbagai masalah kesehatan. Penyakit infeksi masih menjadi prioritas
utama dalam pembangunan kesehatan, di sisi lain perubahan gaya hidup yang serba
cepat tidak menahan laju perkembangan penyakit tidak menular seperti penyakit
jantung dan pembuluh darah. Hal ini diperkuat dengan data yang diperoleh pada
tahun 2007, angka kematian akibat penyakit jantung dan tidak menular pada tahun
1995 sebesar 41,7% meningkat menjadi 59,5% pada tahun 2007.
Kalimantan
Selatan “Juara Hipertensi”
Penyakit
hipertensi sebagai salah satu “kawan” dari penyakit jantung, ternyata dinilai
cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007, angka kejadian atau prevalensi penduduk Indonesia berusia di
atas 18 tahun dengan hipertensi adalah sebesar 31,7%. Ternyata hipertensi tidak
hanya terjadi pada penduduk berusia di atas 18 tahun, namun juga pada penduduk
berusia 15-17 tahun. Jika dilihat berdasarkan kriteria hipertensi sesuai JNC
VII, terdapat 4050 (8,4%) penduduk berusia 15-17 tahun dengan hipertensi. Prevalensi
hipertensi tertinggi berdasarkan provinsi terdapat di Kalimantan Selatan
(39,6%), dan terendah di Papua Barat (20,1%).
Hasil dari
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 memperlihatkan bahwa prevalensi
beberapa penyakit jantung dan pembuluh darah seperti hipertensi sangat tinggi
yaitu 31,7%, diikuti stroke sebesar 8,3% dan penyakit jantung sebesear 7,2% per
1.000 penduduk.
Aceh “Juara
Stroke”
Penyakit
kardiovaskular juga erat kaitannya dengan penyakit stroke. Di Indonesia, angka
prevalensi stroke juga cukup tinggi yaitu sekitar 72,3%, dengan provinsi Aceh
menduduki angka prevalensi tertinggi yaitu 16,6% dan terendah di Papua (3,8%).
Data
Riskesdas memperlihatkan bahwa penyebab kematian utama untuk semua umur adalah
stroke (15,4%), hipertensi (6,8%), penyakit jantung iskemik (5,1%), dan
penyakit jantung lainya (4,6%). Angka kematian pada kelompok usia 45-54 tahun
di daerah perkotaan akibat stroke sebesar 15,9%, kemudian penyakit jantung
sistemik sebesar 8,7% dan hipertensi serta penyakit jantung lainya sebesar
7,1%. Sementara itu di pedesaaan, angka kematian tertinggi diakibatkan oleh
penyakit menular yaitu tuberkulosis (TBC) diikuti oleh stroke sebesar 11,5% dan
hipertensi 9,2% dan penyakit jantung iskemik 8,8%.
Pada
penduduk usia 55-64 tahun yang tinggal di daerah perkotaan, stroke tetap
menjadi penyebab kematian utama (26,8%), kemudian penyakit jantung iskemik
(5,8%), hipertensi (8,1%), dan penyakit jantung lainnya (4,7%).
Bagaimana
dengan penduduk di pedesaan? Ternyata pola penyebab kematian di pedesaan dan
perkotaan menunjukkan pola yang serupa dengan stroke (17,8%) sebagai penyebab
kematian utama, diikuti oleh beberapa penyebab lain antara lain hipertensi
(11,4%), penyakit jantung iskemik (5,7%), dan penyakit jantung lain (5,1%).
Daftar pustaka
Bustan, M.
N., 1995. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT. Rineka Cipta, Jakarta
Prodjosudjadi,
W., 2000. Hipertensi, Berkala Neurosains, Vol 1, No.3: 133-139 Jakarta.